Namun, ada syarat yang harus dipenuhi presiden saat berkampanye, termasuk tidak menggunakan fasilitas jabatannya kecuali untuk keamanan, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
“Dengan diizinkannya Presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau Pasangan Calon tertentu sebagai peserta Pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU,” jelasnya.
Ari juga memberikan contoh keberpihakan politik dari presiden sebelumnya, menegaskan bahwa hal ini bukan fenomena baru.
Namun, ia menekankan perlunya pejabat publik dan politik mematuhi aturan yang berlaku terkait hak mendukung pasangan calon dan berkampanye.
“Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktek politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi,” tambah Ari.
Dengan demikian, klarifikasi ini diharapkan dapat menghilangkan kesalahpahaman yang muncul di masyarakat terkait pernyataan kontroversial Presiden Jokowi.
Perlu pemahaman yang tepat mengenai aturan dan konteksnya agar debat politik dapat berlangsung dengan baik dalam koridor hukum yang telah ditetapkan.
Sumber : cnbcindonesia.com
(Fiyu)