Ferdy Sambo Sempat Memintanya Jadi Kuasa Hukum, Luhut Pangaribuan: Tidak Cocok, Ada yang Gak Benar Sejak Awal

TopOne.id – Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J memasuki babak baru. Setelah lima terdakwa dijatuhi vonis oleh majelis hakim, empat di antaranya akan mengajukan banding.

Adapun empat terdakwa yang mengajukan banding antara lain Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal. Mereka mendapatkan vonis yang lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Vonis yang dijatuhkan pada empat terdakwa tersebut kebanyakan disambut baik oleh masyarakat yang mendamba keadilan. Publik menilai hukuman mati yang dijatuhkan kepada Sambo sudah sangat adil, mengingat Mantan Kadiv Propam Polri ini sebagai master mind atau otak pembunuhan.

Keputusan majelis hakim itu disambut baik oleh sejumlah pakar, termasuk pakar hukum pidana Luhut Pangaribuan. Dia bahkan mengaku sudah mencium kejanggalan sejak pertama kali bertemu dengan Ferdy Sambo di tahanan khusus Mako Brimbob.

Luhut tak menampik pernah diminta Sambo menjadi kuasa hukumnya. Dia kemudian menanyakan sejumlah pertanyaan terkait kasus yang dihadapi, salah satunya soal keterlibatan Sambo dalam menembak.

“Ketika Sambo ditempatkan di tahanan khusus di Mako Brimob, saya diundang bertemu dia. Sambo meminta saya jadi kuasa hukumnya, mungkin beberapa hari setelah dia ditempatkan di tempat khusus,” ucap Luhut dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC).

“Tanya banyak hak, tapi pertama yang saya tanya ‘kamu ikut menembak tidak?’ dia bilang tidak dan yang menembak Eliezer. Sambo menyebut naluri Eliezer sebagai Brimob memang memastikan musuhnya harus mati,” katanya menambahkan.

Setelah mendengar bahwa Sambo menyalahkan Eliezer dan mau menanggung semua kasus yang terjadi, Luhut langsung enggan menjadi kuasa hukumnya. Dia merasa banyak kejanggalan di kasus pembunuhan tersebut.

“Kemudian dia mau menanggung kasus tersebut. Setelah itu selesai saya merasa gak cocok jadi pembelanya. Poinnya saya sudah mempunyai satu pendapat yang menjadi keyakinan saya bahwa ini ada yang enggak benar,” tuturnya.

Yasonna Laoly sebut hukuman mati Sambo tak berhubungan dengan KUHP

Publik pun menyoroti hukuman mati Fery Sambo yang dijatuhkan majelis hakim. Tak sedikit yang mengaitkannya dengN KUHP baru, yang salah satu pasalnya menyinggung soal terdakwa yang divonis hukuman mati bisa berubah hukumannya jika berkelakuan baik selama 10 tahun ditahan.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly langsung membantah isu yang beredar. Menurutnya, perubahan soal KUHP baru itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu, dan bukan sengaja diubah hanya untuk Sambo.

“Aduh, itu dibahas jauh sebelum ini. Jadi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan hukuman mati itu tidak absolut. Jadi harus ada kesempatan,” ucap Yasonna.

“Jadi bukan berarti jauh sebelum Sambo sudah dibahas. Gila aja cara berpikirnya, sudah aneh-aneh aja,” katanya menambahkan.

Menkopolhukam Mahfud MD juga mengungkapkan hal serupa, dia menyebut tuduhan masyarakat itu seperti fitnah pada Mendagri dan Wamenkumham. Dia juga menegaskan KUHP soal hukuman mati sudah diubah sejak lama.

Sambo dilaporkan atas tuduhan lain

Keluarga Brigadir J masih belum terima jika Ferdy Sambo hanya dijatuhi vonis hukuman mati. Pihak kuasa hukum yang diwakili Kamaruddin Simanjuntak telah melaporkan mantan Kadiv Propam Polri itu atas dugaan pencurian.

Selama kasus dalam penyelidikan, pihak keluarga meminta barang-barang Brigadir J dan sejumlah uang. Namun hingga para terdakwa divonis, uang dan barang pribadir Yosua tak kunjung kembali.

Kejanggalan yang dirasakan pihak keluarga adalah saat rekening atas nama Brigadir J mentransfer uang. Titik keanehannya adalah saat pemilik rekening sudah meninggal namun transaksi masih bisa dilakukan.

Keluarga melaporkan kehilangan dua telepon seluler, satu jam tangan digital, satu laptop, satu pin emas Kapolri, lima rekening bank, dan uang sebesar Rp200 juta. Laporan ini terkait dengan dugaan pencurian dana tau pencurian dengan kekerasan dan tindak pidana pencurian uang (TPPU) sesuai pasal 362 dan atau 365 KUHP juncto pasal 3,4,5 UU RI No 8 Tahun 2010.***